
PENDAHULUAN: POLITIK DI AMBANG PERUBAHAN
Tanggal 17 April 2025 mencatatkan momen penting dalam sejarah demokrasi kontemporer Indonesia. Ratusan purnawirawan TNI dari berbagai matra berkumpul dan menyuarakan delapan tuntutan mendesak kepada Presiden terpilih, Letjen (Purn) Prabowo Subianto. Ini bukan gerakan politik partisan, melainkan ekspresi keresahan kolektif dari kelompok yang memiliki akar kuat dalam sejarah pertahanan dan keamanan negara.
Yang membuat pernyataan ini mengguncang bukan hanya jumlah penandatangan—ratusan jenderal dan kolonel dari Angkatan Darat, Laut, dan Udara—tetapi juga substansi delapan poin yang diajukan. Tuntutan tersebut menyentuh jantung persoalan kebangsaan: konstitusi, ekonomi, kedaulatan, dan keadilan. Ini bukan sekadar kritik, melainkan semacam “tembakan peringatan” dari kalangan militer kepada pemerintahan sipil.
Mengapa ini penting? Karena sejarah bangsa ini menunjukkan bahwa ketika militer bersuara lantang di ruang publik, biasanya ada yang tidak beres dalam tubuh negara. Suara mereka merepresentasikan dimensi etis dan historis tentang arah bangsa. Maka, artikel ini hadir untuk membedah secara lebih mendalam delapan tuntutan tersebut, menjabarkannya melalui kacamata akademik, sosial-politik, dan konstitusional.
Inilah saatnya kita duduk, membaca ulang arah bangsa, dan memetakan pilihan masa depan: menuju transformasi atau terjerumus dalam jebakan oligarki dan tirani terselubung.
II. TINJAUAN HISTORIS: KETIKA MILITER BICARA
Dalam sejarah Indonesia, militer selalu menjadi aktor sentral dalam fase-fase krusial bangsa. Sejak era revolusi kemerdekaan, TNI tak hanya menjadi alat pertahanan negara tetapi juga simbol integrasi nasional. Dalam dekade-dekade berikutnya, keterlibatan militer dalam politik menguat, terutama sejak diterapkannya Doktrin Dwifungsi ABRI di bawah rezim Orde Baru.
Namun, setelah Reformasi 1998, terjadi desakan kuat untuk menarik militer dari ranah politik praktis. Reformasi institusional membuat TNI lebih profesional, dengan menempatkan diri di luar kekuasaan eksekutif langsung. Tapi bukan berarti suara mereka kehilangan makna. Ketika para purnawirawan TNI kembali bersuara keras seperti hari ini, itu bukan sekadar nostalgia kekuasaan, melainkan refleksi dari tanggung jawab moral mereka terhadap kelangsungan negara.
Fenomena ini bukan hanya khas Indonesia. Di Thailand, intervensi militer terhadap pemerintahan sipil telah berulang kali terjadi, baik melalui kudeta langsung maupun tekanan institusional. Di Turki, sejarah memperlihatkan bagaimana militer memosisikan diri sebagai penjaga konstitusi sekuler. Bahkan di Mesir, peran militer menjadi penentu arah politik nasional sejak revolusi 1952 hingga kejatuhan Presiden Mursi.
Maka, dalam konteks Indonesia, ketika suara para jenderal tua menggema, kita perlu mencermatinya sebagai sinyal kuat: ada yang salah dalam sistem. Teriakan mereka bukan bentuk subversi, melainkan ajakan untuk koreksi nasional. Mereka mungkin sudah pensiun secara jabatan, tetapi belum pensiun dari kepedulian terhadap arah bangsa.
III. ANALISIS DELAPAN TUNTUTAN PARA PURNAWIRAWAN
1. KEMBALI KE UUD 1945 ASLI
Tuntutan pertama ini merupakan panggilan mendalam untuk meninjau ulang arah konstitusional bangsa. Para purnawirawan menilai bahwa amandemen empat tahap terhadap UUD 1945—yang dilakukan antara 1999 hingga 2002—telah membawa penyimpangan sistemik terhadap prinsip kedaulatan rakyat dan keadilan sosial.
Salah satu sorotan utama adalah penghapusan sistem demokrasi perwakilan berbasis musyawarah, yang diganti menjadi sistem liberal dengan pemilihan langsung. Pasal 33, yang dulu menjadi dasar ekonomi kerakyatan, juga mengalami degradasi makna.
Ayat (2) dan (3), yang menegaskan penguasaan negara atas cabang-cabang produksi penting, kini dibayangi oleh praktik liberalisasi sektor strategis seperti energi, tambang, dan infrastruktur.
Data dari Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan menunjukkan bahwa kepemilikan asing atas sektor keuangan dan sumber daya meningkat signifikan sejak liberalisasi pasca-reformasi. Pada tahun 2022, hampir 49% saham perusahaan tambang besar dikuasai oleh pemodal asing. Pasal 33 tak lagi efektif sebagai pelindung kekayaan negara, melainkan menjadi “hiasan konstitusi” belaka.
Pandangan ini diperkuat oleh para akademisi seperti Prof. Yusril Ihza Mahendra dan Prof. Jimly Asshiddiqie, yang menyatakan bahwa amandemen UUD membuka celah besar terhadap kooptasi kekuasaan oleh elite politik dan ekonomi. Bahkan, sistem presidensial hasil amandemen dinilai menciptakan kekuasaan yang nyaris tak terkontrol karena lemahnya mekanisme checks and balances.
Dari sudut pandang filsafat politik, ini adalah pergeseran dari volonté générale (kehendak umum) menuju volonté particulière (kepentingan kelompok). UUD hasil amandemen memperluas ruang kontestasi, tetapi tidak menyediakan proteksi yang cukup terhadap dominasi kapital dan oligarki.
Maka, seruan kembali ke UUD 1945 asli bukanlah sekadar nostalgia, tetapi bentuk koreksi terhadap “demokrasi prosedural tanpa substansi.” Ini bukan berarti menolak perubahan, melainkan menegaskan bahwa arah reformasi harus tetap dalam kerangka ideologi Pancasila dan prinsip kedaulatan rakyat yang hakiki.
2. DUKUNG ASTA CITA, KECUALI PROYEK IKN
Tuntutan kedua mencerminkan dukungan konstruktif terhadap arah kebijakan Presiden Prabowo, khususnya program “Asta Cita” yang mencakup delapan tujuan strategis untuk membangun Indonesia yang lebih berdaulat dan sejahtera. Namun, terdapat satu pengecualian yang menjadi sorotan tajam: kelanjutan pembangunan Ibu Kota Negara (IKN) Nusantara.
Penolakan terhadap proyek IKN bukan tanpa alasan.
Pertama, dari sisi ekonomi, laporan Bappenas dan perhitungan Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) menunjukkan bahwa pembangunan IKN akan menghabiskan dana sebesar Rp 466 triliun, dengan komposisi pembiayaan yang sangat bergantung pada investasi asing dan swasta. Sampai awal 2024, realisasi investasi masih jauh di bawah target, menimbulkan risiko pembengkakan utang dan ketergantungan fiskal.
Kedua, dari perspektif geopolitik dan keamanan nasional, banyak pakar mempertanyakan urgensi pemindahan ibu kota ke wilayah yang secara topografi rawan isolasi dan bencana. Jauh dari pusat ekonomi dan populasi, IKN dikhawatirkan akan menjadi kota elitis yang mengabaikan inklusi sosial. Di sisi lain, keterlibatan investor asing, termasuk dari Tiongkok, Korea, dan Uni Emirat Arab, memperkuat dugaan bahwa proyek ini berpotensi menjadi pintu masuk bagi infiltrasi kepentingan luar.
Ketiga, secara ekologis, pembangunan IKN mengancam keberlangsungan ekosistem Kalimantan. Laporan dari Walhi dan Forest Watch Indonesia menyebut bahwa lebih dari 256.000 hektare hutan alami dan kawasan penyangga berisiko terganggu, mengakibatkan kerusakan lingkungan permanen.
Penolakan purnawirawan terhadap proyek IKN juga mengandung pesan moral: bahwa pembangunan tidak boleh dijalankan atas nama modernisasi semu, tetapi harus berbasis pada kebutuhan rakyat, pemerataan, dan keberlanjutan. Jika tidak, proyek IKN bisa menjadi monumen kemegahan yang dibangun di atas puing-puing ketidakadilan sosial dan ekologis
3. HENTIKAN PSN REMPANG, PIK 2, DAN KASUS SERUPA
Tuntutan ketiga ini memperlihatkan kekhawatiran mendalam terhadap arah pembangunan nasional yang dinilai semakin menjauh dari semangat keadilan sosial. Proyek Strategis Nasional (PSN) seperti Rempang Eco-City dan Pantai Indah Kapuk 2 (PIK 2) dinilai telah melampaui batas karena merugikan masyarakat, merusak lingkungan, dan memperkuat dominasi oligarki properti dan industri.
Kasus Rempang di Batam menjadi cermin betapa negara kehilangan empati terhadap warganya sendiri. Ribuan warga adat Melayu Rempang, yang sudah bermukim secara turun-temurun selama lebih dari 100 tahun, terancam digusur demi investasi yang disebut-sebut bernilai puluhan triliun rupiah. Ironisnya, proyek ini dijalankan atas nama kemajuan, namun justru menggunakan pendekatan kekerasan dan intimidasi. Laporan Komnas HAM menyebutkan adanya pelanggaran hak-hak dasar warga, termasuk penggusuran paksa, kriminalisasi, dan trauma psikologis terhadap anak-anak.
PIK 2 di Jakarta Utara juga menunjukkan pola yang serupa. Proyek reklamasi dan pengembangan kawasan elite tersebut dituding mengabaikan prinsip keadilan spasial. Alih-alih menjadi ruang publik atau solusi atas kepadatan kota, kawasan ini justru menjadi enklave bagi kelompok ekonomi atas, dan memperparah ketimpangan akses terhadap ruang hidup layak.
Dari sisi lingkungan, PSN semacam ini turut menyebabkan kerusakan ekosistem pesisir, pencemaran air laut, dan peningkatan risiko banjir. Data dari WALHI dan Greenpeace Indonesia menyatakan bahwa reklamasi dan ekspansi industri pesisir telah memicu kerusakan 4.000 hektare mangrove di kawasan utara Jawa dan Sumatera.
Tuntutan penghentian proyek-proyek tersebut adalah panggilan agar negara tidak tunduk pada logika kapital, melainkan berdiri di sisi rakyat. Pembangunan bukan sekadar deretan angka investasi, tetapi harus berdampak langsung pada pengentasan kemiskinan, pemerataan akses, dan perlindungan lingkungan jangka panjang.
4. HENTIKAN TENAGA KERJA ASING CINA DI WILAYAH NKRI
Tuntutan keempat ini mencerminkan gejolak sosial yang telah lama terpendam: kecemasan publik terhadap membanjirnya Tenaga Kerja Asing (TKA), khususnya dari Tiongkok, dalam proyek-proyek strategis nasional. Dalam banyak kasus, kehadiran mereka bukan hanya soal persaingan kerja, tetapi telah menimbulkan persoalan keadilan ekonomi, sosial, dan bahkan kedaulatan negara.
Data dari Kementerian Ketenagakerjaan (2023) menunjukkan bahwa terdapat lebih dari 125.000 TKA yang bekerja di Indonesia, dan sekitar 36% berasal dari Tiongkok. Konsentrasi tertinggi berada di kawasan industri seperti Morowali (Sulawesi Tengah), Konawe (Sulawesi Tenggara), Halmahera (Maluku Utara), dan Papua. Di beberapa titik, laporan investigatif menyebut bahwa TKA ilegal masuk melalui jalur non-imigrasi, memanfaatkan celah pengawasan dan kelonggaran birokrasi.
Masalah utama bukan hanya soal jumlah, tetapi tentang diskriminasi struktural. TKA dari China mendapat fasilitas lebih, gaji lebih tinggi, dan proteksi dari perusahaan. Sementara tenaga kerja lokal, meskipun bekerja di negeri sendiri, justru diposisikan sebagai buruh rendahan tanpa jaminan sosial dan upah layak.
Selain itu, dalam perspektif geopolitik, arus masuk TKA Tiongkok ini dipandang sebagai bagian dari skema ekspansi ekonomi “One Belt One Road Initiative” (OBOR) yang didorong Beijing. Indonesia menjadi “target” dari ekspansi investasi dan tenaga kerja dari negeri Tirai Bambu tersebut. Dalam jangka panjang, hal ini menimbulkan kekhawatiran akan infiltrasi ekonomi dan kultural, yang dapat melemahkan kedaulatan nasional secara sistemik.
Tuntutan purnawirawan untuk menghentikan dan memulangkan TKA Tiongkok bukan tindakan xenofobik, tetapi seruan perlindungan terhadap hak rakyat Indonesia untuk mendapatkan prioritas dalam pembangunan nasional. Ini juga panggilan untuk menegakkan hukum, memperketat pengawasan, dan menyusun ulang kebijakan investasi agar berpihak kepada kepentingan nasional yang berkeadilan.

5. TERTIBKAN PERTAMBANGAN ILEGAL DAN TEGAKKAN PASAL 33 UUD 1945
Tuntutan kelima menyoroti persoalan strategis sekaligus sensitif: pengelolaan tambang nasional yang carut-marut dan sangat jauh dari amanat konstitusi, khususnya Pasal 33 Ayat (2) dan (3) UUD 1945.
Di balik gembar-gembor hilirisasi dan industrialisasi, fakta di lapangan menunjukkan bahwa sektor tambang masih dikuasai oleh kartel dan oligarki ekonomi yang melibatkan cukong, aparat, dan elite politik.
Data Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tahun 2023 mencatat lebih dari 3.000 lokasi pertambangan ilegal tersebar di seluruh Indonesia, dengan dominasi di Kalimantan, Sulawesi, dan Papua. Sektor tambang nikel, batu bara, dan emas menjadi ladang subur bagi praktik ilegal yang merugikan negara hingga puluhan triliun rupiah per tahun. Ironisnya, mayoritas kegiatan ini mendapat “perlindungan” dari oknum aparat dan pejabat daerah.
Laporan Indonesian Corruption Watch (ICW) menyebutkan bahwa kerugian negara dari pertambangan ilegal pada 2022 mencapai lebih dari Rp 56 triliun. Di saat bersamaan, kawasan hutan lindung dan daerah aliran sungai (DAS) rusak parah akibat aktivitas tanpa kontrol dan tanpa AMDAL. Rakyat sekitar hanya mendapat debu, limbah, dan kemiskinan struktural.
Padahal Pasal 33 Ayat (3) menyatakan dengan jelas bahwa:
“Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.”
Namun dalam praktiknya, negara justru kerap tunduk pada kepentingan korporasi tambang, baik nasional maupun asing.
Tuntutan para purnawirawan ini bukan semata-mata soal tambang, melainkan soal arah negara. Apakah kekayaan Indonesia akan terus diperah oleh segelintir elite, ataukah dikelola secara adil dan berkelanjutan untuk kepentingan rakyat?
Menertibkan tambang berarti merebut kembali kedaulatan ekonomi dan menegakkan keadilan sosial sebagaimana diamanatkan oleh konstitusi.
6. RESHUFFLE MENTERI BUSUK DAN BEBASKAN DARI TITIPAN KEKUASAAN LAMA
Tuntutan keenam secara tegas menyentuh inti persoalan: integritas kabinet dan kemurnian mandat rakyat. Dalam banyak pemerintahan sebelumnya, susunan kabinet sering kali ditentukan bukan berdasarkan kompetensi atau rekam jejak bersih, tetapi karena kepentingan politik dan “balas budi” kepada koalisi atau pihak tertentu. Hal ini berujung pada lahirnya menteri-menteri “titipan” yang bekerja bukan demi rakyat, tetapi demi kelompoknya.
Presiden Prabowo, jika serius ingin melakukan reformasi dan rekonsiliasi nasional, harus membebaskan diri dari tekanan oligarki politik lama. Banyak tokoh dalam kabinet sebelumnya terlibat dalam berbagai dugaan korupsi, pelanggaran etika, bahkan persekongkolan untuk memperpanjang kekuasaan melalui manipulasi konstitusi.
Laporan dari ICW dan KPK mengindikasikan bahwa beberapa mantan menteri aktif hingga 2024 memiliki rekam jejak buruk terkait pengelolaan anggaran negara, konflik kepentingan dalam tender proyek, serta penyalahgunaan jabatan untuk memperkaya diri atau kelompok. Jika mereka kembali duduk di pemerintahan hanya karena loyalitas politik, maka itu adalah pengkhianatan terhadap semangat perubahan yang diusung Prabowo.
Reshuffle kabinet bukan hanya teknis pemerintahan, tapi simbol moral. Ia mencerminkan apakah pemimpin memiliki keberanian untuk menyingkirkan yang busuk dan memilih yang bersih. Kabinet yang kuat adalah yang terdiri dari figur-figur berintegritas tinggi, berpihak kepada rakyat kecil, bebas dari afiliasi politik transaksional, dan kompeten di bidangnya.
Seruan para purnawirawan ini sejalan dengan harapan publik luas: Prabowo harus menjauh dari bayang-bayang kekuasaan Presiden sebelumnya, termasuk dari jejaring politik dinasti yang sarat kepentingan. Jika kabinet ke depan adalah pengulangan dari masa lalu, maka masa depan bangsa hanya akan menjadi sandera kompromi elit.
7. KEMBALIKAN POLRI KE FUNGSI KAMTIBMAS DI BAWAH KEMENDAGRI
Tuntutan ketujuh dari para purnawirawan menggarisbawahi urgensi reformasi institusi Polri. Dalam dua dekade terakhir, kepolisian Indonesia telah menjelma menjadi lembaga superpower—menguasai segala bidang, mulai dari keamanan, intelijen, lalu lintas, ekonomi digital, hingga urusan politik.
Polri seolah kehilangan arah dari tugas utamanya sebagai penjaga ketertiban dan pelindung masyarakat.
Pasca pemisahan Polri dari TNI tahun 1999, reformasi kepolisian seharusnya menempatkan institusi ini sebagai alat negara yang netral, humanis, dan profesional. Namun dalam praktiknya, banyak kebijakan dan operasi yang justru menunjukkan wajah represif, berorientasi kekuasaan, dan kerap menjadi alat politik penguasa.
Laporan dari ELSAM dan Komnas HAM menunjukkan peningkatan signifikan terhadap laporan pelanggaran HAM oleh aparat Polri, termasuk dalam kasus demonstrasi, kriminalisasi aktivis, dan intimidasi terhadap jurnalis.
Kewenangan yang begitu besar tanpa pengawasan memadai menjadikan Polri rawan disalahgunakan. Banyak tokoh menyebut Polri hari ini sebagai “negara dalam negara”—memiliki kekuatan ekonomi, politik, dan hukum tersendiri. Bahkan keterlibatan Polri dalam bisnis, mulai dari pengamanan Z perusahaan tambang, operasi tilang digital, hingga kepemilikan saham di BUMN, menjadi sorotan publik dan sumber konflik kepentingan.
Tuntutan untuk mengembalikan Polri di bawah Kementerian Dalam Negeri bukan berarti mengecilkan peran lembaga ini, melainkan menempatkannyas kembali dalam fungsi sipil yang diawasi secara demokratis. Dalam sistem negara demokratis yang sehat, fungsi keamanan internal adalah bagian dari tata kelola pemerintahan sipil, bukan institusi otonom yang tak tersentuh hukum dan kontrol publik.
Reformasi Polri harus mencakup:
• Restrukturisasi kelembagaan
• Pembatasan kewenangan non-kepolisian
• Penguatan pengawasan sipil
• Penegakan etika internal
Hanya dengan langkah-langkah ini, kepercayaan publik terhadap Polri dapat dipulihkan, dan institusi ini benar-benar menjadi pelindung rakyat, bukan alat rezim.
8. GANTI WAKIL PRESIDEN DAN EVALUASI PUTUSAN MK TERHADAP PASAL 169 HURUF Q
Tuntutan terakhir yang diajukan para purnawirawan mengandung bom waktu konstitusional: mempertanyakan keabsahan proses hukum dan politik yang meloloskan Gibran Rakabuming Raka sebagai calon wakil presiden melalui putusan Mahkamah Konstitusi (MK). Mereka menilai bahwa keputusan MK atas Pasal 169 huruf q UU Pemilu adalah cacat hukum, penuh konflik kepentingan, dan melanggar prinsip etika yudisial.
Putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023 membuka jalan bagi Gibran—yang saat itu belum cukup umur sesuai batas minimal—untuk ikut dalam kontestasi pemilu nasional. Yang lebih problematik adalah fakta bahwa Ketua MK saat itu adalah pamannya sendiri, Anwar Usman, yang kemudian dijatuhi sanksi etik berat oleh Majelis Kehormatan MK karena melanggar prinsip ketidakberpihakan dan integritas hakim.
Dalam perspektif hukum tata negara, keputusan tersebut memicu polemik serius karena dianggap membajak supremasi konstitusi dan mempermalukan proses demokrasi. Akademisi seperti Prof. Zainal Arifin Mochtar dan Dr. Bivitri Susanti menyebut bahwa MK telah berubah fungsi dari pengawal konstitusi menjadi pelayan kekuasaan. Dampaknya bukan hanya pada pencalonan Gibran, tetapi pada legitimasi moral pemerintahan yang akan dibentuk.
Tuntutan kepada MPR untuk mengganti Wapres bukan tindakan inkonstitusional, melainkan bentuk perlawanan terhadap normalisasi pelanggaran hukum. Jika masalah ini dibiarkan, maka sistem hukum Indonesia akan semakin tergerus, dan ruang konstitusional akan dijadikan alat kekuasaan sekelompok elit.
Lebih jauh, tuntutan ini juga menyuarakan kekhawatiran bahwa pemerintahan mendatang akan berjalan dengan legitimasi yang goyah. Gibran, meski menang secara administratif, membawa luka etik yang belum tersembuhkan. Jika tidak ditangani, luka itu dapat menjelma menjadi krisis legitimasi nasional.
Dalam kerangka demokrasi substansial, pemilu bukan hanya soal menang dan kalah, tetapi tentang kepatutan, keadilan, dan keluhuran moral institusi negara. Inilah inti dari tuntutan para patriot bangsa.
IV. DIMENSI SOSIAL-POLITIK: ANTARA SINYAL PERUBAHAN ATAU PERINGATAN REVOLUSI?
Delapan butir pernyataan purnawirawan TNI bukan sekadar keluhan elite masa lalu. Ini adalah ekspresi mendalam dari keresahan kolektif—sebuah refleksi bahwa masyarakat sipil dan militer sejatinya memiliki panggilan tanggung jawab moral yang sama: menyelamatkan republik dari kerusakan sistemik.
Fenomena ini dapat dibaca sebagai potensi lahirnya “revolusi konstitusional damai.” Bukan melalui kudeta, tetapi lewat kesadaran kolektif yang menuntut reposisi ulang negara—dari negara yang dikuasai elite dan oligarki menjadi negara yang berpihak pada rakyat. Jika seruan ini diabaikan, risiko delegitimasi pemerintahan akan semakin besar. Polarisasi publik bisa meluas, dan kebencian terhadap institusi negara bisa meningkat, memicu ketidakstabilan jangka panjang.
V. REKOMENDASI STRATEGIS
1 Bentuk segera Forum Dialog Nasional lintas institusi—MPR, MK, akademisi, TNI/Polri, ormas besar, dan elemen masyarakat sipil—untuk meninjau ulang fondasi konstitusi dan arah pembangunan nasional.
2 Lakukan evaluasi total komposisi kabinet dan lembaga strategis, agar tidak lagi diisi tokoh-tokoh titipan, eks pelanggar etika, atau loyalis dinasti politik.
3 Batalkan atau moratorium proyek-proyek besar seperti IKN, Rempang, dan PSN bermasalah hingga ada audit publik dan persetujuan masyarakat terdampak.
4 Tegakkan hukum secara menyeluruh terhadap pertambangan ilegal, pelanggaran HAM, dan praktik korupsi kebijakan agar kepercayaan publik pulih.
5 Kembalikan TKA ilegal, perketat sistem imigrasi, dan prioritaskan tenaga kerja lokal dalam semua proyek negara.
6 Dorong reformasi menyeluruh Polri di bawah Kementrian Dalam Negeri agar menjadi institusi yang profesional, netral, transparan, dan bertanggung jawab kepada sipil.
VI. KESIMPULAN: JIKA PARA PATRIOT SUDAH BERSUARA, MAKA RAKYAT HARUS BANGKIT
Pernyataan 332 perwira TNI purnawirawan bukan sekadar kritik politik—ini adalah suara sejarah. Mereka telah mengabdi dalam peperangan, menjaga tapal batas, memanggul senjata demi republik ini. Jika mereka hari ini berbicara, bukan karena haus kekuasaan, tetapi karena cinta pada bangsa yang sedang menuju arah yang salah.
Kini giliran rakyat, akademisi, mahasiswa, ulama, buruh, petani, dan seluruh elemen bangsa—untuk tidak diam. Kita tidak bisa lagi menyerahkan masa depan kepada politisi yang hanya pandai memainkan narasi tanpa arah.
Kita butuh keberanian kolektif untuk menyelamatkan Indonesia dari jebakan kekuasaan yang menyimpang.
Karena sejarah akan mencatat: saat para patriot sudah memperingatkan dan rakyat tetap diam, maka kehancuran tinggal menunggu waktu.
Oleh: Mangesti Waluyo Sedjati
Sekjen DPP Al-Ittihadiyah | Pengurus KPEU MUI Pusat | Ketua Majelis Ilmu Baitul Izzah
( MBN/ADM )